KONSULTASI
Logo

Petani Sawit Terancam Terdepak dari Pasar Global Jelang Penerapan EUDR, INDEF Desak Pemerintah Bertindak Cepat

9 Oktober 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Petani Sawit Terancam Terdepak dari Pasar Global Jelang Penerapan EUDR, INDEF Desak Pemerintah Bertindak Cepat
HOT NEWS

sawitsetara.co - JAKARTA - Industri kelapa sawit Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Menjelang penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada Juni 2026, jutaan petani kecil berisiko tersingkir dari rantai pasok global akibat persoalan legalitas lahan, keterlacakan kebun (traceability), dan rendahnya kepemilikan sertifikasi keberlanjutan.

Isu ini menjadi sorotan utama dalam diskusi publik yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bertajuk “Hambatan dan Peluang Partisipasi Petani Kecil Kelapa Sawit di Pasar Global”, yang berlangsung di Jakarta, Jumat (3/10/2025) lalu.

Sektor sawit selama ini dikenal sebagai penopang utama perekonomian nasional. Tahun 2023, industri ini menyumbang sekitar 3,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menghasilkan devisa ekspor sebesar US$28,4 miliar, setara dengan 11,6% ekspor nonmigas Indonesia. Industri ini juga menjadi sumber penghidupan bagi 16,2 juta tenaga kerja, termasuk 4,2 juta petani sawit langsung di lapangan.

Namun, di balik angka-angka gemilang tersebut, nasib petani kecil masih rentan. Mengelola sekitar 41% dari total lahan sawit nasional, mereka terseok menghadapi tantangan legalitas lahan, minimnya akses pembiayaan, keterbatasan teknologi, serta rendahnya partisipasi dalam skema sertifikasi seperti ISPO dan RSPO.

Direktur Kerja Sama Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah, menegaskan bahwa regulasi seperti EUDR menjadi tantangan serius, terutama bagi petani kecil yang belum memiliki sistem dokumentasi dan pemetaan lahan yang memadai.


Lomba Cipta Mars  HUT Apkasindo

“Diskusi ini kami arahkan untuk memperjuangkan perlindungan petani kecil agar tidak terdepak dari pasar global akibat regulasi internasional seperti EUDR,” ujarnya.

Menurut kajian INDEF tahun 2024, ketidakpatuhan terhadap EUDR dapat menurunkan harga sawit sebesar 1–9 persen, dan berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan petani kecil hingga 17 persen.

Peneliti INDEF, Afaqa Hudaya, memaparkan bahwa mayoritas petani sawit masih bekerja secara individu dan belum tergabung dalam koperasi atau kelembagaan tani. Ini menyebabkan mereka kesulitan mengakses pendampingan teknis, pembiayaan, dan sertifikasi keberlanjutan.

Lebih dari itu, sekitar 62% lahan sawit rakyat masih terindikasi berada di dalam kawasan hutan. Akibatnya, mereka tidak dapat mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) maupun pendanaan dari BPDP. Dari total 6,2 juta hektare lahan sawit petani, hanya 1% yang memiliki sertifikasi ISPO. Meski program ini sudah berjalan lebih dari 10 tahun.

Sementara itu, Djono A. Burhan, Head of International Relation DPP APKASINDO, menyoroti sejumlah persoalan struktural yang terus membayangi petani sawit nasional.

“Permasalahan legalitas lahan adalah hambatan paling krusial. Banyak petani yang mengelola lahan dengan status ‘kawasan hutan’ yang sebenarnya sudah tidak berhutan lagi. Ini menjadi penghalang besar dalam upaya traceability kebun dan akses ke pasar global,” tegas Djono, yang juga sedang menempuh studi doktoral terkait sistem perdagangan global CPO dan keberlanjutan.


Ia menambahkan, disparitas harga tandan buah segar (TBS) juga menjadi isu sensitif antarpetani di berbagai wilayah. Di Sumatera, harga TBS sudah menyentuh Rp 3.000-an/kg untuk petani mitra, sementara di Sulawesi, harga masih stagnan di angka Rp 2.000-an/kg.

“Ketimpangan harga ini menimbulkan kecemburuan sosial. Padahal, untuk meningkatkan kualitas TBS dan produktivitas, petani butuh harga yang stabil dan kompetitif,” jelasnya.

INDEF mendorong agar pemerintah tidak hanya fokus pada EUDR, tetapi juga memperluas diplomasi dagang dan membuka pasar ekspor baru.

“Uni Eropa memang penting, tetapi bukan satu-satunya pasar. China, India, dan Pakistan justru menyerap volume terbesar ekspor sawit Indonesia. Diversifikasi pasar adalah kunci agar petani tidak terjebak dalam regulasi yang memberatkan,” ujar Imaduddin.

Namun tantangan terbesar tetap ada di dalam negeri. Tingginya biaya kepatuhan terhadap standar keberlanjutan. Sertifikasi seperti ISPO dan RSPO belum memberikan insentif harga yang cukup, sehingga minat petani untuk mengikuti sertifikasi masih rendah.

Di tengah kabar datangnya regulasi baru dari Uni Eropa, banyak petani sawit kecil di pelosok Indonesia hanya bisa mengernyit bingung. Istilah seperti traceability, due diligence, atau bahkan deforestation-free supply chain, terdengar asing di telinga mereka yang saban hari berjibaku dengan lumpur, matahari, dan panen tandan buah segar. Namun di balik kompleksitas dan kekhawatiran itu, terselip secercah harapan.

Djono melihat semua tantangan ini bukan sebagai akhir, melainkan awal dari perubahan besar. Baginya, regulasi seperti EUDR justru bisa menjadi batu loncatan untuk mentransformasi posisi petani dari sekadar pelaku hulu menjadi aktor utama dalam rantai nilai global.

Ia menyebut bahwa peluang pertama justru datang dari kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas. Petani yang selama ini bekerja secara mandiri, tanpa pendampingan dan akses teknologi, sesungguhnya punya potensi besar jika diberi pelatihan, modal, dan infrastruktur dasar yang mendukung. Di sinilah pentingnya kehadiran negara.

Peluang berikutnya adalah dorongan untuk sertifikasi keberlanjutan. Selama ini, sertifikasi seperti ISPO dan RSPO terasa berat dan jauh dari jangkauan petani kecil. Prosesnya mahal, teknis, dan memerlukan bimbingan yang jarang tersedia. Djono menegaskan, bila pemerintah turun tangan secara aktif, menyediakan pendampingan teknis dan subsidi biaya sertifikasi, maka sertifikasi tak lagi jadi momok, melainkan pintu masuk ke pasar global.

Di era teknologi, Djono juga melihat momentum untuk mendorong digitalisasi di sektor perkebunan rakyat. Penggunaan aplikasi pemetaan lahan, pencatatan panen, hingga pelacakan distribusi TBS bisa menjadi alat bantu sederhana namun ampuh untuk menjawab tuntutan traceability dalam EUDR. Namun ia menggarisbawahi bahwa teknologi yang dikembangkan harus disesuaikan dengan kemampuan petani, murah, praktis, dan tidak menyulitkan.


Lebih dari itu, ia menekankan pentingnya mendorong lahirnya UMKM sawit turunannya industri olahan berskala kecil yang dapat meningkatkan nilai tambah dan memperbaiki citra sawit Indonesia di mata dunia. Sabun, minyak goreng, biodiesel skala rumah tangga, hingga produk kosmetik berbasis sawit, bisa menjadi wajah baru industri sawit yang inklusif dan berkelanjutan.

Namun Djono juga tidak menutup mata terhadap fakta bahwa banyak dari peluang ini hanya bisa diwujudkan bila ada pembenahan regulasi secara menyeluruh.

Menurutnya, tanpa deregulasi atas kebijakan-kebijakan yang selama ini justru menyulitkan petani, maka semua peluang hanya akan menjadi wacana kosong. Ia memberi contoh kasus klaim kawasan hutan yang menjadi akar dari begitu banyak persoalan legalitas lahan petani sebagai isu domestik yang bisa dan harus diselesaikan oleh negara.

“Jika kita mampu menyelesaikan ini bersama, maka yang dulu dianggap sebagai hambatan akan menjadi kekuatan. Justru EUDR bisa kita jadikan ajang untuk menunjukkan bahwa sawit Indonesia, yang dikelola hampir separuhnya oleh petani kecil, bisa bersaing secara global dengan cara yang berkelanjutan,” ujarnya penuh keyakinan.

“Permasalahan yang selama ini dianggap sebagai hambatan, sejatinya bisa menjadi peluang. Tapi syaratnya satu: pemerintah harus melakukan deregulasi terhadap kebijakan-kebijakan negatif yang membebani industri sawit hulu-hilir,” pungkas Djono.

Ia menekankan, dengan 50 persen lahan sawit dikelola oleh petani kecil, maka suara dan pemikiran mereka harus menjadi bagian penting dalam diplomasi sawit Indonesia ke depan.

Tags:

EUDRINDEF

Berita Sebelumnya
IEU-CEPA Buka Jalan Ekspor Sawit Indonesia ke Pasar Eropa

IEU-CEPA Buka Jalan Ekspor Sawit Indonesia ke Pasar Eropa

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyampaikan bahwa Uni Eropa mulai melonggarkan sikapnya terkait larangan impor sejumlah komoditas pertanian, seperti kelapa sawit, kakao, kopi, kedelai, karet, dan kayu yang sebelumnya dinilai memicu deforestasi. Larangan tersebut sempat diatur dalam regulasi Uni Eropa bertajuk European Union Deforestation Regulation (EUDR).

| Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *