KONSULTASI
Logo

Sawit Jadi Tulang Punggung Ekonomi Indonesia, Tapi Sertifikasi ISPO Masih Jadi Tantangan

9 Oktober 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Sawit Jadi Tulang Punggung Ekonomi Indonesia, Tapi Sertifikasi ISPO Masih Jadi Tantangan
HOT NEWS

Sawitsetara.co – JAKARTA – Direktur hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri PhD, menyoroti peran penting ekspor sawit dalam menutupi impor. Ia mengatakan, industri kelapa sawit telah lama menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang.

Pada 2024, sektor ini mempekerjakan sekitar 16,5 juta orang, meningkat dari 12,5 juta pada 2015. Tanpa kontribusi sawit, neraca perdagangan nonmigas Indonesia berpotensi mengalami defisit. Selain itu, sawit juga vital dalam ketahanan energi dan pangan, dengan penggunaan biodiesel dan penyediaan minyak goreng terjangkau.

“Pemerintah mengandalkan biodiesel berbasis sawit untuk mengurangi impor BBM. Sementara di sektor pangan, sekitar 10,8 juta ton minyak sawit digunakan untuk kebutuhan domestik pada 2023, setara 20 persen dari total produksi nasional. Sawit pun menjadi penopang utama ketersediaan minyak goreng terjangkau penduduk Indonesia,” kata Kuntoro dalam artikelnya, seperti dikutip dari Antara, Kamis (9/10/2025).

Lomba Cipta Mars  HUT Apkasindo

a mengatakan, di tengah kesuksesan, industri sawit menghadapi tantangan serius terkait keberlanjutan. Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) mewajibkan produksi sawit bebas deforestasi setelah 31 Desember 2020, menimbulkan kekhawatiran bagi petani kecil. Namun, kata dia, tekanan eksternal ini menjadi pendorong untuk memperkuat praktik sawit berkelanjutan.

Sebagai respons terhadap tuntutan global, Indonesia mengembangkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai standar nasional. ISPO, yang pertama kali diluncurkan pada 2011 dan diperbarui pada 2015, bertujuan memastikan usaha kelapa sawit memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sesuai regulasi Indonesia.

“ISPO berfungsi sebagai baseline minimum yang wajib dipatuhi semua pelaku industri di Indonesia,” tambahnya.

Berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela dan berlaku global, ISPO fokus pada kepatuhan hukum nasional. RSPO menetapkan standar yang lebih luas, termasuk perlindungan hutan primer, sementara ISPO lebih menekankan pada legalitas lahan dan praktik perkebunan yang baik. Kedua skema ini sebenarnya saling melengkapi.


Kuntoro menjelaskan, ISPO telah diperkuat melalui Peraturan Presiden No.44/2020, yang menegaskan larangan deforestasi, meningkatkan transparansi, dan membentuk mekanisme monitoring independen. Namun, tantangan besar masih ada, terutama dalam sertifikasi petani kecil.

Hingga pertengahan 2020, baru sekitar 27 persen kebun sawit Indonesia yang tersertifikasi ISPO, dengan proporsi petani kecil yang sangat rendah. ISPO dirancang agar lebih terjangkau daripada RSPO, sekaligus memberikan dasar hukum yang kuat.

“ISPO sangat penting, bukan hanya untuk menjaga kredibilitas sawit Indonesia di pasar global, tetapi juga sebagai sarana inklusif merangkul petani kecil,” katanya.

Pengakuan internasional terhadap ISPO masih menjadi pekerjaan rumah besar. Malaysia berhasil mendapatkan pengakuan Uni Eropa untuk standar MSPO mereka. Jika Indonesia ingin menjaga daya saing, ISPO harus terus diperkuat agar setara dengan standar global dalam hal transparansi dan sistem pelacakan rantai pasok. Dengan demikian, minyak sawit Indonesia dapat diterima tanpa diskriminasi di pasar global.

Namun, implementasi ISPO menghadapi tantangan besar, terutama di tingkat petani kecil. Hingga awal 2025, partisipasi petani swadaya dalam sertifikasi ISPO masih sangat rendah, kurang dari 1% dari total luas kebun sawit rakyat di Indonesia. “Artinya, 99 persen lebih kebun rakyat belum bersertifikat,” ungkapnya.



Rendahnya adopsi ini disebabkan oleh berbagai hambatan. Keterbatasan pendanaan, kerumitan birokrasi, lemahnya kelembagaan petani, dan minimnya sosialisasi menjadi penyebab utama. Biaya sertifikasi yang dianggap mahal dan belum adanya perbedaan harga jual TBS antara yang bersertifikat dan tidak, membuat petani enggan mengurus sertifikat.

Selain biaya, legalitas lahan menjadi masalah krusial. Banyak kebun rakyat belum memiliki dokumen hak tanah yang jelas atau tumpang tindih dengan kawasan hutan, yang menjadi syarat mutlak sertifikasi ISPO. Proses administrasi yang rumit dan kurangnya pemahaman petani semakin memperburuk situasi.

Bagi perusahaan, tantangan berbeda muncul. Sebagian besar perusahaan besar lebih mengutamakan sertifikasi internasional seperti RSPO atau ISCC karena tuntutan pasar global. ISPO seringkali dianggap sebagai formalitas, bukan instrumen utama untuk keberlanjutan.

Namun, situasi berubah setelah diterbitkannya Perpres No.16 Tahun 2025 yang mewajibkan seluruh pekebun sawit, termasuk petani swadaya, memiliki sertifikasi ISPO mulai Maret 2029. Tidak ada lagi pengecualian; semua pelaku industri harus mematuhi aturan ini.

Untuk mempercepat implementasi, diperlukan strategi penguatan ISPO yang komprehensif. Insentif, pendampingan, harmonisasi standar, dan penegakan hukum menjadi kunci. Pemerintah dapat memanfaatkan dana BPDP untuk membiayai sertifikasi petani.

Selain pendanaan, insentif nyata seperti akses pupuk bersubsidi, alat produksi, program peremajaan, dan kredit usaha harus diberikan kepada petani bersertifikat. Pendampingan teknis dan penguatan kelembagaan petani juga sangat penting.

Harmonisasi ISPO dengan standar global perlu ditingkatkan. Digitalisasi sistem pelacakan rantai pasok, seperti yang dilakukan Malaysia dengan MSPO, dapat menjadi contoh. Jika ISPO mampu sejajar dengan standar global, sertifikat ini akan lebih mudah diterima di pasar internasional.


Berita Sebelumnya
IEU-CEPA Buka Jalan Ekspor Sawit Indonesia ke Pasar Eropa

IEU-CEPA Buka Jalan Ekspor Sawit Indonesia ke Pasar Eropa

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyampaikan bahwa Uni Eropa mulai melonggarkan sikapnya terkait larangan impor sejumlah komoditas pertanian, seperti kelapa sawit, kakao, kopi, kedelai, karet, dan kayu yang sebelumnya dinilai memicu deforestasi. Larangan tersebut sempat diatur dalam regulasi Uni Eropa bertajuk European Union Deforestation Regulation (EUDR).

| Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *