
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Kedua pasal tersebut pada dasarnya tidak menempatkan Surat Edaran sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, ketentuan tersebut secara tegas menggunakan istilah “peraturan”, yang pada Pasal 8 ayat (2) diprasyaratkan bahwa harus dibentuk atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan yang sah. Frasa “diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan” juga menunjukkan adanya pelimpahan atau pemberian kewenangan, baik melalui delegasi maupun atribusi. Dengan demikian, peraturan yang dimaksud harus bersumber dari kewenangan yang secara jelas diberikan. Oleh karena itu, peraturan tersebut dipahami sebagai instrumen hukum yang bersifat mengatur (regeling).
Ketentuan dalam Pasal 48 Ayat (1) UU Cipta Kerja menunjukkan sifat yang sentralistik dengan posisi Pemerintah Pusat sebagai pemberi pedoman untuk Pemerintah Daerah Memberikan izin berusaha. Sedangkan muatan pada SE memberikan instruksi kepada pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Barat untuk menyinkronkan kebijakan pelarangan ini ke dalam perencanaan pembangunan daerah dan program sektor perkebunan, sehingga SE itu berada di luar kapasitas normatifnya dan rawan bertentangan dengan peraturan yang ada.
Secara mendasar, sebuah SE merupakan aturan yang bersifat internal dan berlandaskan pada kewenangan mengurus (bestuur) serta produk hukum berupa keputusan administratif (beschikking). Lebih lanjut, SE umumnya memuat penjelasan atau prosedur untuk mempermudah atau menjelaskan peraturan yang mesti dilaksanakan, sehingga dengan sifat itu, SE seharusnya tidak menegasikan sebuah peraturan perundang-undangan. Apabila SE memuat larangan atau kewajiban yang bertentangan dengan norma yang diatur atau melampaui kewenangan atribusi/delegasi yang diberikan kepada daerah, maka SE tersebut tidak dapat menggantikan atau meniadakan ketentuan perundang-undangan.
Pada kesimpulannya, meskipun SE gubernur dapat berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan, SE tidak berkekuatan hukum dan tidak sah apabila dipergunakan untuk menegasikan atau mengubah ketentuan norma yang berada di atasnya. Apabila isi SE bertentangan dengan kewenangan atau norma yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, maka keberlakuan produk kebijakan tersebut patut dipertanyakan dan dapat menjadi objek pengujian administratif atau yuridis.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *