
sawitsetara.co – JAKARTA — Ketika banjir besar kembali melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, polemik tentang penyebab bencana bukan hanya soal hujan deras atau tekanan sosial terhadap sawit.
Menurut Guru Besar IPB University Prof. Bayu Krisnamurthi, narasi yang menyudutkan satu komoditas — yakni kelapa sawit — sebagai biang kerok utama bencana justru menutupi kegagalan negara dalam pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang efektif.
Pakar agribisnis kebijakan pembangunan ini berpendapat bahwa tudingan yang terus-menerus diarahkan ke sawit setiap kali terjadi banjir besar sangat berlebihan. Ia menegaskan bahwa pendekatan semacam itu tidak akan membuat Indonesia belajar apa pun.
“Yang harus dibenahi adalah bagaimana negara mengelola sumber daya alam dan menjaga keseimbangan hidrometeorologi, bukan hanya mencari kambing hitam berdasarkan komoditas tertentu,” katanya, Selasa (30/12/2025).
Menurut Prof. Bayu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banjir bandang membawa gelondongan kayu besar dan material berat dari kawasan hulu. Sawit dituduh menjadi dalang, padahal realitanya banjir bah datang dari daerah tinggi di mana sawit tidak bisa tumbuh.
“Air bah datang dari daerah tinggi. Sawit itu bukan tanaman dataran tinggi. Ini fakta yang sering diabaikan. Kalau fakta saja tidak dipakai, kebijakan pasti salah sasaran,” katanya.
Gagalnya negara dalam pengelolaan ruang terlihat dari lemahnya perlindungan kawasan hulu dan kawasan lindung secara konsisten.
Prof. Bayu menegaskan bahwa jika terdapat aktivitas pembukaan lahan di wilayah yang seharusnya dilindungi — apakah itu sawit, jagung, atau tanaman lain — yang perlu ditindak bukan jenis tanaman, tetapi pelanggaran aturan yang terjadi.
“Kalau ada pelanggaran, yang harus diperangi adalah ilegalitasnya,” ujarnya tegas.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa komoditas sawit memiliki peran penting bagi ekonomi nasional dan kehidupan petani kecil. Sawit tidak hanya menjadi penggerak ekonomi daerah, tetapi juga berkontribusi dalam ketahanan energi dan sektor industri nasional.
Oleh karena itu, pendekatan terhadap sawit seharusnya rasional dan berdasarkan fakta, bukan didorong oleh stigma atau kecenderungan emosional. Menurutnya, jika setiap bencana sawit terus diseret, yang rugi bukan Cuma industri, tapi juga petani kecil yang menggantungkan hidup dari sektor ini.
Prof. Bayu menutup pernyataannya dengan peringatan bahwa tanpa perbaikan tata kelola lingkungan dan tata ruang secara fundamental, bencana seperti banjir dan longsor akan terus terjadi berulang.
“Jangan lagi memelintir isu sawit tiap kali bencana datang. Yang gagal sebenarnya tata kelola kita sendiri,” pungkasnya.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *