KONSULTASI
Logo

Hutan, Banjir, dan Ekonomi yang Merobohkan Rumah Sendiri

16 Desember 2025
AuthorTim Redaksi
EditorHendrik Khoirul
Hutan, Banjir, dan Ekonomi yang Merobohkan Rumah Sendiri
HOT NEWS

sawitsetara.co - JAKARTA - Tulisan ini menempatkan hutan bukan sebagai komoditas kayu semata, melainkan sebagai infrastruktur air alami yang berfungsi mengatur debit banjir, mencegah erosi, dan menjaga aliran dasar sungai.

Melalui pendekatan hidrologi dan ekonomi infrastruktur, esai ini menunjukkan bahwa deforestasi masif—seperti hilangnya sekitar 222.000 hektar hutan di Sumatra dalam periode 2023–2024—setara dengan merobohkan sistem pengelolaan air raksasa yang selama ini bekerja tanpa biaya fiskal.

Ketika struktur ini rusak, hujan ekstrem dengan cepat berubah menjadi banjir bandang, sebagaimana tercermin pada kejadian banjir besar November 2025.

Analisis ini membandingkan pendapatan resmi negara dari pemanfaatan hutan (PNBP sekitar Rp 3,37 triliun per tahun) dengan kerugian ekonomi akibat satu kejadian banjir besar yang diperkirakan mencapai Rp 68–200 triliun.

Dengan memandang hutan sebagai aset infrastruktur, restorasi hutan dianalisis sebagai belanja modal (capex) dengan biaya sekitar Rp 1,96 triliun untuk memulihkan seluruh hutan yang hilang—jauh lebih murah dibandingkan kerugian yang ditimbulkan oleh kegagalan pencegahan.

Perhitungan ini menunjukkan rasio manfaat-biaya yang sangat timpang, di mana biaya pencegahan berpotensi menghasilkan penghematan sosial puluhan kali lipat.

Tulisan ini menyimpulkan bahwa krisis banjir bukan sekadar fenomena alam, melainkan hasil desain kebijakan yang menginternalisasi pendapatan jangka pendek, tetapi mengabaikan nilai jasa ekosistem. Selama hutan dihitung sebagai kayu dan bukan sebagai infrastruktur air, neraca ekonomi pembangunan akan terus merugi lintas generasi.

Sawit Setara Default Ad Banner

Infrastruktur Air Raksasa yang Kita Robohkan

Coba, bayangkan sebentar: hutan bukan sekadar kumpulan pohon, tapi bangunan raksasa yang dirancang untuk mengelola air dengan presisi yang tak mampu ditiru beton. Kanopi berlapis-lapis bekerja sebagai atap: menahan sebagian hujan, memecah tetesan besar menjadi rintik halus, dan memperlambat laju air sebelum menyentuh tanah. Batang-batang dan serasah di lantai hutan berfungsi seperti dinding dan karpet yang menghambat aliran permukaan, membuat air tidak langsung lari ke hilir.​​

Di bawahnya, tanah kaya akar berperan sebagai spons raksasa yang mampu menyerap air berlipat dari beratnya sendiri, menyimpan, lalu melepaskannya pelan-pelan lewat pori-pori tanah dan jaringan akar ke mata air, sungai kecil, dan akhirnya sungai besar.Proses intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi inilah yang menjadikan hutan sebagai infrastruktur pengatur debit puncak, pencegah ero

si, dan produsen aliran dasar di musim kemarau. Selama struktur ini utuh, hujan ekstrem tidak otomatis berarti banjir ekstrem—karena ada “mesin hidrologi” yang bekerja 24 jam tanpa listrik dan tanpa APBD.​​

Ketika 222.000 hektar hutan Sumatra hilang hanya dalam dua tahun (2023–2024), yang lenyap bukan hanya stok kayu. Yang dirusak adalah keseluruhan bangunan: atap, spons, dan pipa-pipa alami. Hujan deras yang dulu difilter menjadi tetesan pelan kini menghantam tanah telanjang seperti palu godam.

Air yang seharusnya meresap jam demi jam berubah menjadi arus permukaan dalam hitungan menit, menyeret tanah, batu, dan gelondongan kayu ke hilir. Banjir bandang November 2025 bukan misteri meteorologi, melainkan konsekuensi logis dari merobohkan infrastruktur air yang selama ini kita anggap “sekadar” hutan.​

Kayu Dihitung, Air Diabaikan

Di meja rapat, hutan muncul sebagai angka yang sangat rapi: volume kayu sekian meter kubik, nilai ekspor produk kayu sekitar Rp 256 triliun per tahun, ekspor sawit Rp 243 triliun, PNBP kehutanan resmi sekitar Rp 3,37 triliun pada 2024. Laporan tahunan memamerkan target ekspor tercapai, penerimaan negara bukan pajak melampaui target, dan kontribusi devisa yang dibanggakan.​

Yang tidak muncul di laporan itu: nilai air yang diatur, banjir yang dicegah, atau tonase tanah yang tidak hanyut karena akar masih mencengkeram lereng. Penelitian valuasi jasa ekosistem di beberapa DAS menunjukkan bahwa nilai fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun hanya untuk satu daerah aliran sungai. Namun angka ini tidak pernah dimasukkan ke dalam analisis kelayakan ketika izin konsesi dikeluarkan—seolah-olah air akan tetap patuh walau atap rumah sudah dibongkar.​

Sementara itu, ketika banjir bandang melanda Sumatra pada November 2025, tiba-tiba angka lain muncul: kerusakan infrastruktur jalan sekitar Rp 60,65 miliar, sumber daya air Rp 85,5 miliar, fasilitas pendidikan Rp 210,6 miliar, dan sektor pertanian Rp 828,8 miliar—total sekitar Rp 1,18 triliun hanya dari tiga sektor yang sempat dihitung.

Perkiraan kerugian total, termasuk rumah rusak, hilangnya produktivitas, dan gangguan ekonomi, mencapai Rp 68–200 triliun. Itu baru satu kejadian. Kalau hujan ekstrem dan lanskap kritis ini bertemu lagi lima tahun lagi, tagihannya datang lagi—dan lagi.​​

Sawit Setara Default Ad Banner

Hutan Sebagai Capex Pencegah Longsor dan Banjir

Sekarang balikkan perspektif: anggap hutan sebagai proyek infrastruktur yang sengaja ingin kita bangun untuk menahan banjir dan longsor. Kementerian dan berbagai studi biaya menunjukkan bahwa rehabilitasi hutan di Indonesia membutuhkan sekitar Rp 5,7–12 juta per hektar, tergantung jenis hutan, topografi, dan intensitas pemeliharaan.

Ambil angka tengah: sekitar Rp 8,85 juta per hektar sebagai biaya investasi bangun hutan lengkap dengan penyiapan lahan, bibit, penanaman, dan pemeliharaan awal.​

Untuk 222.000 hektar hutan Sumatra yang hilang, “capex” yang dibutuhkan untuk membangun kembali infrastruktur hidrologi itu adalah sekitar:

- Skenario minimum: Rp 1,27 triliun

- Skenario maksimum: Rp 2,66 triliun

- Rata-rata: sekitar Rp 1,96 triliun​

Sebagai perbandingan, Bendungan Leuwikeris di Tasikmalaya—salah satu bendungan termahal Indonesia—menghabiskan sekitar Rp 3,5 triliun untuk kapasitas tampung 81 juta m³ dan melindungi 11.200 hektar sawah.

Dengan biaya satu bendungan itu, kita bisa merehabilitasi hampir 400.000 hektar hutan, atau 178% dari hutan Sumatra yang hilang dalam dua tahun. Artinya, dari kaca mata infrastruktur murni, hutan adalah solusi penahan banjir yang jauh lebih murah per hektar wilayah lindung dibandingkan beton.​

Lebih ironis lagi: investasi Rp 1,96 triliun untuk restorasi hutan hanyalah sekitar 58% dari PNBP pemanfaatan hutan satu tahun (Rp 3,37 triliun pada 2024). Dengan sedikit keberanian politik, satu tahun penerimaan saja cukup untuk membiayai pemulihan 222.000 hektar infrastruktur air alami yang telah kita hancurkan.​

Ekonomi yang Menggali Lubang, Lalu Membeli Sekop

Kalau atap rumah bocor dan Anda beli ember, itu tindakan darurat yang masuk akal. Tapi kalau tiap musim hujan plafon jebol, dinding basah, dan Anda selalu menjawab dengan “beli ember baru”, jelas masalahnya bukan di hujan—tapi di desain rumah yang sengaja tidak Anda perbaiki. Pola ini persis dengan yang terjadi di APBD dan APBN kita.​

Setiap tahun, daerah menganggarkan dana tanggap darurat, perbaikan jalan putus, pembangunan kembali jembatan hanyut, rehabilitasi sekolah rusak, dan bantuan sosial bagi warga yang rumahnya tertimbun lumpur.

Itu semua adalah “biaya ember”. Sementara “biaya atap”—restorasi hutan di hulu DAS, perlindungan kawasan resapan, penegakan hukum terhadap perambah—tetap diberi alokasi kecil, kalah oleh proyek beton yang lebih fotogenik di peresmian.​​

Dari sisi pendapatan, PNBP kehutanan resmi yang masuk kas negara sekitar Rp 3,37 triliun per tahun, dengan rata-rata 2021–2024 sekitar Rp 3,79 triliun. Dari sisi kerugian, satu kejadian banjir besar bisa menghabiskan Rp 68–200 triliun.

Dengan kata lain, kerugian satu banjir besar sekitar 40 kali lebih besar dari pendapatan resmi negara dari pemanfaatan hutan dalam satu tahun. Butuh 20–59 tahun PNBP kehutanan hanya untuk menutup kerugian satu banjir besar—itu pun kalau selama dua generasi tidak ada banjir besar lain.​

Lebih parah lagi, negara kehilangan sekitar Rp 20,22 triliun PNBP dari 2,9 juta hektar kebun sawit ilegal di kawasan hutan, enam kali lipat dari PNBP kehutanan resmi 2024. Jadi bukan hanya kita merusak “atap rumah”, tapi kita juga membiarkan maling menggondol gentengnya tanpa bayar.​

Kalau ini disebut “ekonomi”, maka ini adalah ekonomi yang menggali lubang, menjual tanahnya, lalu meminjam uang untuk membeli sekop baru setiap kali longsor terjadi.

Sawit Setara Default Ad Banner

Untung Receh, Rugi Generasi

Mari susun neraca sederhana:

Pemasukan (pendapatan dari merusak hutan)

- PNBP pemanfaatan hutan: ± Rp 3,37 triliun per tahun​

- Sebagian kecil pajak dan royalti dari kayu dan CPO​

Pengeluaran (biaya & kerugian)

- Kerugian banjir Sumatra 2025: Rp 68–200 triliun per kejadian​

- Biaya psikososial: trauma, kehilangan mata pencaharian, putus sekolah—nyaris tak terhitung​

- PNBP yang hilang dari sawit ilegal: ± Rp 20,22 triliun​

- Biaya infrastruktur tambahan: bendungan, tanggul, normalisasi sungai, yang nilainya bisa beberapa triliun per proyek​

Di sisi lain, biaya pencegahan untuk membangun kembali hutan yang hilang sebagai infrastruktur banjir “hanya” sekitar Rp 1,96 triliun sekali tanam. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa investasi pencegahan ini memberikan “ROI” sekitar 68 kali lipat jika dibandingkan dengan kerugian banjir besar yang bisa dicegah.​

Artinya, kita sedang merobohkan aset bernilai ratusan triliun untuk mendapat pendapatan sekitar Rp 3 triliun per tahun, lalu membayar kerugian puluhan hingga ratusan triliun setiap kali banjir besar datang. Neraca ini tidak hanya merah—ia berdarah.

Provokasi Terbuka

Kepada para pembuat kebijakan: kalau banjir dan longsor datang tiap tahun dan APBD Anda selalu bocor untuk biaya darurat, rehabilitasi, dan kompensasi, itu bukan takdir—itu arsitektur kebijakan. Setiap izin konsesi di hulu adalah keputusan desain rumah; setiap pengesahan alih fungsi lahan resapan menjadi kebun monokultur adalah keputusan untuk melubangi atap; setiap pemotongan anggaran rehabilitasi hutan adalah keputusan untuk menolak memperbaiki kerangka bangunan.​​

Data sederhana tapi telak: dengan sekitar 58% PNBP kehutanan satu tahun saja, Anda sebenarnya bisa membiayai restorasi penuh 222.000 hektar hutan Sumatra yang hilang—yang selama ini menjadi infrastruktur air gratis bagi jutaan warga di hilir.

Tapi alih-alih melakukan itu, kita memilih menghabiskan puluhan triliun rupiah untuk membangun bendungan, tanggul, jalan akses, dan skema penanggulangan darurat yang hanya menangani gejala, bukan akar masalah.​

Metafora rumah bocor menempel tepat di dahi kita: kalau atap bocor dan Anda sibuk beli ember baru setiap musim hujan, Anda bukan korban cuaca—Anda adalah arsitek yang menolak mengakui kesalahan desain.

Begitu juga dengan hutan: selama kita menghitung kayu tapi mengabaikan air, menghitung CPO tapi menutup mata pada lumpur di ruang kelas, menghitung PNBP tapi membiarkan Rp 20 triliun pendapatan hilang di kebun ilegal, kita sedang menjalankan ekonomi yang membunuh rumah sendiri pelan-pelan.​

Pertanyaannya tinggal satu: mau berapa lama lagi kita pura-pura tidak bisa membaca neraca yang sebenarnya?


*Penulis adalah Gilarsi W. Setijono, seorang profesional dan eksekutif senior dengan pengalaman lebih dari tiga dekade di berbagai sektor industri. Ia dikenal sebagai pemimpin bisnis yang berperan penting dalam transformasi organisasi, termasuk di sektor logistik, otomotif, dan teknologi mobilitas.


Berita Sebelumnya
Pengembangan Inovasi Dorong Daya Saing Produk Hilir Berbasis Sawit

Pengembangan Inovasi Dorong Daya Saing Produk Hilir Berbasis Sawit

Subholding PTPN III (Persero), PTPN IV PalmCo menyebut pentingnya pengembangan inovasi yang relevan bagi perusahaan agar bisa mendorong daya saing produk-produk hilir berbasis kelapa sawit serta komoditas perkebunan.

| Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *