sawitsetara.co – JAKARTA – Kontribusi Uni Eropa terhadap ekspor-impor Indonesia terbilang kecil, hanya sekitar 5 persen. Namun, menurut Presiden ASEAN Society of Agricultural Economist, Bustanul Arifin, Uni Eropa tetap penting karena sering jadi acuan standar bagi negara lain.
“Tadi, pertanyaannya apakah Uni Eropa merupakan pasar yang menjanjikan? Sepanjang mereka tidak terlalu, maaf, rewel gitu pelaku kita sih dengan senang hati, ya. Tapi kalau mereka sudah terlalu rewel teman-teman pengusaha itu akhirnya mencari pasar-pasar baru,” kata Bustanul di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Nilai total ekspor Indonesia ke Uni Eropa (27 negara) pada 2024 mencapai USD17,34 miliar (berdasarkan data yang tersedia di bulan September 2025) dan diproyeksikan akan meningkat dengan adanya IEU-CEPA. Sektor pertanian Indonesia secara keseluruhan juga mencatat kenaikan ekspor pada periode Januari-Oktober 2024 sebesar 23,78% dibandingkan tahun sebelumnya.
Lebih lanjut, ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa pada 2024 mencapai sekitar 3,3 juta ton, dengan nilai ekspor USD1,66 miliar. Angka ini mengalami penurunan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya akibat kebijakan non-tariff barrier seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR), meskipun kesepakatan IEU-CEPA yang akan menghapus tarif mulai berlaku dan membawa optimisme untuk meningkatkan ekspor di masa mendatang.
Namun demikian, Bustanul menegaskan bahwa sikap “rewel” Uni Eropa dalam menetapkan standar bukan semata-mata hambatan. Justru, itu bisa menjadi peluang untuk memperbaiki kualitas produk dalam negeri.
“Tapi menurut saya menjadi trendsetter, menjadi benchmark menurut saya penting lah ya karena kalau tidak ada benchmark akhirnya kita juga kadang tidak meningkatkan kualitasnya gitu,” kata Bustanul.
Karena itu, menurut Bustanul, Uni Eropa sebaiknya tetap dijadikan acuan atau benchmark. Sebab, ketika Uni Eropa menetapkan suatu standar, banyak negara lain ikut mengadopsinya.
“Terus terang ketika Uni Eropa sudah menetapkan standar seperti ini, negara lain, terutama negara-negara baru, Eropa Timur, Eropa Barat, kemudian Asia Tengah, Asia Selatan kadang ikut-ikutan menggunakan standarnya Uni Eropa,” kata Bustanul.
Bustanul menambahkan, jika standar yang ditetapkan terpenuhi dan kualitas produk berhasil ditingkatkan, nilai tambah terbesar sebenarnya akan berada di pihak produsen dalam negeri.
Menurut Bustanul, prospek pasar Uni Eropa tetap menjanjikan karena kawasan ini berperan sebagai trendsetter. Selain itu, untuk beberapa komoditas, Uni Eropa juga banyak melakukan re-ekspor.
Misalnya kopi Indonesia, yang dibawa langsung ke Uni Eropa, khususnya Italia dan Jerman. Namun setelah diolah, disangrai, di-roasting, kopi tersebut kemudian disebarkan kembali ke berbagai pasar lain.
“Artinya, Uni Eropa itu pandai meningkatkan nilai tambah yang masuk ke tempat mereka sendiri dan alangkah baiknya jika kita menggunakan strategi yang sama, nilai tambahnya kita tambah kalau kita ambil di dalam negeri baru ke sana mungkin benefit-nya akan double bagi kita,” jelas Bustanul.
Bustanul menambahkan, bahwa sebagian besar permasalahan diplomasi perdagangan global sebenarnya bersumber dari persoalan domestik.
“Bahkan ada teman saya dari luar negeri yang pernah bilang, tidak ada persoalan yang lebih domestik dibandingkan perdagangan internasional. Jadi sebenarnya, perdagangan internasional itu masalah domestik,” ungkap Bustanul.
Menurut Bustanul, perundingan IEU CEPA seharusnya menjadi momen untuk introspeksi dan mendorong peningkatan produktivitas serta kualitas produk dalam negeri, terutama produk-produk yang terdampak dalam perjanjian tersebut.
Ia mencontohkan sektor kelapa sawit, di mana produktivitas petani masih tergolong rendah. “Produksi sawit petani rata-rata baru sekitar tiga ton per hektare. Untuk buah segar, produksinya juga masih di kisaran 12-14 ton per hektare,” jelas Bustanul.
Kondisi ini menunjukkan bahwa manfaat dari perjanjian dagang masih belum maksimal dirasakan. Masalah peningkatan produktivitas tidak hanya dialami petani mandiri, tetapi juga perusahaan besar. Oleh karena itu, perbaikan di sektor hulu menjadi sangat penting.
“Perjanjian yang sudah ditandatangani harusnya menjadi langkah awal untuk membenahi ekonomi di hulu atau dalam negeri. Itulah yang paling banyak dituntut oleh para pelaku usaha di dalam negeri,” pungkas Bustanul.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *