
sawitsetara.co – PEKANBARU – Presiden Joko Widodo pernah menaruh harapan besar pada program peremajaan sawit rakyat. Saat meluncurkannya di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 13 Oktober 2017, ia berharap program ini sukses dan meluas ke daerah lain. Namun, hingga kini, target yang dicanangkan belum pernah tercapai.
Peremajaan sawit rakyat sangat penting untuk meningkatkan produktivitas. Produksi sawit yang stagnan, sekitar 2-4 ton per hektare per tahun, mengancam pendapatan petani dan bahkan negara. Dari total 16,38 juta hektare lahan sawit di Indonesia, sekitar 42 persen atau 6,94 juta hektare adalah milik rakyat.
Tanaman sawit yang sudah tua perlu diremajakan karena produktivitasnya rendah. Menurut Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), produksi kebun sawit tua hanya mencapai 800 kilogram per hektare dengan rendemen sekitar 18 persen. Jika diganti dengan tanaman baru, produktivitasnya bisa mencapai 3,5 ton per hektare dengan rendemen 28 persen pada usia tanaman 5 tahun.

Luas lahan sawit yang menua terus bertambah. Pada tahun 2020 saja, Indonesia Palm Oil Strategic Studies memperkirakan ada 2 juta hektare lahan sawit yang produksinya menurun drastis karena usia. Kementerian Pertanian bahkan memperkirakan produksi sawit akan turun dari 47,47 juta ton pada 2024 menjadi 44,34 juta ton pada 2045.
Namun, realisasi peremajaan sawit rakyat belum sesuai harapan. Berdasarkan laporan Tempo, hingga Oktober 2025, realisasi peremajaan baru mencapai 23.271 hektare atau 19,39 persen dari target 120 ribu hektare. Sejak 2017, realisasi peremajaan baru mencapai 399 ribu hektare. Council of Palm Oil Producing Producers menghitung idealnya lahan yang diremajakan adalah 310 ribu hektare per tahun.
Jumlah petani yang ikut serta dalam program peremajaan juga masih minim. Dari 4,5 juta petani sawit di Indonesia, hanya 3,76 persen atau sekitar 170 ribu petani yang terdaftar dalam program peremajaan sejak 2017.

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *