KONSULTASI
Logo

Guru Besar IPB: Putusan MK Soal Kawasan Hutan Bisa Menimbulkan Kerancuan dan Potensi Disalahartikan

17 Oktober 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Guru Besar IPB: Putusan MK Soal Kawasan Hutan Bisa Menimbulkan Kerancuan dan Potensi Disalahartikan
HOT NEWS

sawitsetara.co - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sudarsono, memberikan tanggapan kritis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebagian mengabulkan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 110B ayat (1) dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.”

Dengan demikian, MK memberikan pengecualian bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal yang telah hidup turun-temurun di dalam kawasan hutan untuk tetap dapat melakukan aktivitas, termasuk berkebun, tanpa harus memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Namun, menurut Prof. Sudarsono, isi dari putusan tersebut justru bisa menimbulkan kerancuan pemahaman dan potensi penyalahgunaan di lapangan jika tidak dijelaskan dengan tegas dan disertai batasan yang jelas mengenai definisi “hidup di dalam hutan” dan “kawasan hutan.”

“Terus terang, saya belum mempelajari dengan utuh keputusan MK tersebut. Tapi dari pemberitaan yang saya baca, disebutkan bahwa masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan bisa melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Keterangan ini saja sudah membingungkan,” ujar Prof. Sudarsono saat dihubungi sawitsetara.co pada Jumat (17/10/2025).

Menurutnya, terdapat perbedaan mendasar antara istilah hutan dan kawasan hutan yang seringkali disalahartikan dalam praktik kebijakan kehutanan di Indonesia.

“Kalau orang berkebun, maka orang tersebut hidup di dalam kebun, bukan di dalam hutan. Di sini ada kerancuan antara pengertian ‘hutan’ dan ‘kawasan hutan’. Anggaplah yang dimaksud adalah masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam kawasan hutan dengan kegiatan berkebun, maka yang perlu dipertanyakan pertama adalah status kawasan hutannya,” jelasnya.

Prof. Sudarsono menjelaskan, jika suatu masyarakat telah hidup turun-temurun di wilayah tertentu bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, maka secara hukum seharusnya wilayah tersebut tidak bisa ditetapkan sebagai kawasan hutan jika penetapan kawasan dilakukan sesuai dengan mekanisme yang benar.

“Menurut peraturan perundangan yang berlaku, tidak mungkin masyarakat tersebut berada di dalam kawasan hutan bila penetapan kawasan hutannya dilakukan dengan benar, yakni mengikuti Pasal 13, 14, dan 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” tegasnya.

Pasal-pasal tersebut mengatur secara rinci tahapan penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan yang harus memperhatikan hak-hak masyarakat yang telah lama tinggal dan beraktivitas di wilayah tersebut.

“Jika masyarakat yang telah hidup turun-temurun justru dinyatakan berada di dalam kawasan hutan, maka penetapan kawasan hutan itu menyalahi aturan. Artinya, hak-hak masyarakat tidak dihargai dalam proses penetapan,” ujarnya.

Dalam konteks ini, Sudarsono mengingatkan kembali putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011, yang menyatakan bahwa kawasan hutan yang ditetapkan tanpa menghormati hak-hak masyarakat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Dengan kata lain, putusan MK 34/2011 telah membatalkan penerapan Pasal 4 UU 41/1999 yang memberikan kekuasaan penuh kepada negara atas hutan tanpa mempertimbangkan hak masyarakat adat. Jadi, kalau masyarakat sudah hidup turun-temurun di sana, kawasan itu seharusnya bukan kawasan hutan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Prof. Sudarsono menilai, putusan MK terbaru ini rentan dipelintir atau disalahgunakan, terutama karena lemahnya pemahaman dan penegakan batas kawasan hutan di lapangan.

“Selama pengertian dan pemahaman tentang kawasan hutan masih kacau seperti yang terjadi hingga saat ini, maka keputusan MK yang membolehkan masyarakat berkebun di dalam kawasan hutan tanpa izin sangat berpotensi untuk diplesetkan,” tegasnya.

Ia mencontohkan, jika masyarakat telah hidup turun-temurun di suatu wilayah sebelum Indonesia merdeka, atau bahkan sejak tahun 1970-an, maka secara logika hukum wilayah tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kawasan hutan.

“Kalau mereka sudah hidup turun-temurun sejak sebelum Indonesia merdeka atau sejak tahun 1970, seharusnya kebun-kebun itu bukan kawasan hutan jika mengikuti peraturan yang berlaku. Jika pemerintah tetap mengklaimnya sebagai kawasan hutan, maka kawasan hutannya yang batal menurut putusan MK 34/2011,” ujarnya.

Karena itu, Sudarsono menekankan pentingnya kejelasan definisi hukum dan ketegasan pelaksanaan di lapangan agar putusan MK tidak justru membuka celah baru bagi konflik agraria maupun praktik manipulatif atas nama masyarakat adat.

“Pengertian dari putusan MK yang terbaru ini sangat mudah dan mungkin diplesetkan. Kita lihat bagaimana implementasinya nanti. Kalau tidak hati-hati, bisa jadi keputusan yang seharusnya melindungi masyarakat justru dipakai untuk kepentingan lain,” pungkasnya.

Sebagai informasi, putusan MK Nomor 78/PUU-XXII/2024 mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya terkait pengelolaan kawasan hutan. MK menegaskan bahwa ketentuan yang mewajibkan izin berusaha untuk kegiatan di kawasan hutan tidak berlaku bagi masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan dan tidak memiliki kepentingan komersial.

Putusan ini dianggap sebagai langkah afirmatif terhadap masyarakat adat dan lokal yang selama ini terdampak kebijakan penetapan kawasan hutan, namun seperti diingatkan oleh Prof. Sudarsono, tanpa kejelasan batas dan pemaknaan yang tepat, putusan tersebut justru berpotensi menimbulkan kerancuan hukum dan konflik baru di lapangan.

Tags:

kawasan hutan

Berita Sebelumnya
Cetak SDM Sawit, BPDP Bersama Hai Sawit Gelar Sawit Academy di UNDIP

Cetak SDM Sawit, BPDP Bersama Hai Sawit Gelar Sawit Academy di UNDIP

BPDP Bersama Hai Sawit Gelar Sawit Academy di UNDIP. Kegiatan ini dilakukan agar mahasiswa tidak hanya mendapat wawasan akademis, tetapi juga pengalaman praktis yang bermanfaat bagi masa depan mereka. Sawit adalah salah satu sektor strategis bangsa, dan generasi muda harus disiapkan untuk menjadi motor penggerak hilirisasi dan inovasi di dalamnya.

| Edukasi

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *