
sawitsetara.co - BANDA ACEH - Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Aceh, Netap Ginting, menegaskan bahwa banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah kabupaten di Aceh bukan disebabkan perluasan kebun sawit. Hal itu disampaikan Netap Ginting saat dihubungi sawitsetara.co melalui pesan WhatsApp, menanggapi maraknya opini liar yang mengaitkan bencana dengan ekspansi perkebunan sawit.
Menurutnya, tudingan tersebut tidak tepat dan tak didukung data. “Penyebab banjir di Aceh bukan karena perluasan kebun sawit. Yang benar adalah maraknya illegal logging dan illegal mining di daerah-daerah rawan. Kami pastikan pengembangan kebun sawit di Aceh zero deforestasi,” tegasnya.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Aceh, luas kebun sawit di provinsi itu mencapai 567,5 ribu hektare dengan 62 pabrik kelapa sawit (PKS) beroperasi.
Netap menjelaskan banjir besar yang terjadi tidak memberikan dampak signifikan terhadap harga tandan buah segar (TBS). “Harga TBS di Aceh masih stagnan, tidak ada kenaikan maupun penurunan meski harga CPO pascabanjir sempat naik,” jelasnya.

Saat ini, harga TBS terendah tercatat Rp2.750/kg, sedangkan tertinggi Rp2.950/kg.
Di sisi lain, kegiatan agronomis petani sawit justru mengalami gangguan serius. Banyak jalan sentra produksi, termasuk jalan nasional, terputus dan berlumpur parah akibat banjir bandang.
“Panen terganggu karena akses jalan banyak yang putus. Pemupukan juga tertunda karena kondisi kebun becek dan sulit dijangkau,” ujar Netap.
Banjir Disebabkan Cuaca Ekstrem dan Aktivitas Ilegal, Bukan Sawit
Menurutnya, bencana besar itu dipicu hujan ekstrem selama tiga hari berturut-turut. Khusus Kabupaten Simeulue, gempa bumi yang terjadi memperparah kondisi tanah dan memicu longsor.
“Wilayah yang paling parah terdampak adalah Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Timur, Subulussalam, dan Simeulue,” katanya.

Korban jiwa pun tak sedikit. Ratusan rumah tertimbun longsor, banyak jembatan putus, dan laporan sementara mencatat ratusan korban meninggal serta ratusan lainnya hilang.
Netap juga memastikan bahwa titik banjir bukan berada di kawasan perkebunan sawit. “Justru lebih banyak terjadi di permukiman penduduk, terutama yang berada di bantaran sungai,” tegasnya.
Pasca banjir, Aceh juga mengalami kelangkaan BBM. Kondisi ini memperberat aktivitas evakuasi, logistik, hingga transportasi petani dan masyarakat.
“BBM di Aceh langka. Kami minta Pertamina memberikan perhatian khusus terhadap kondisi ini,” ujar Netap.
Sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat terdampak, DPW APKASINDO Aceh mengusulkan bantuan dana tanggap darurat kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Selain itu, untuk pemulihan jangka panjang, pihaknya mengusulkan agar dana hasil sitaan Kejaksaan Agung dari kasus korupsi minyak goreng sebesar Rp13 triliun digunakan untuk rekonstruksi pascabencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
“Dana itu sudah kembali ke negara dan idealnya dimanfaatkan untuk membantu rakyat yang sedang kesulitan akibat bencana,” tukasnya.
Tags:



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *