
sawitsetara.co - Pasar minyak sawit global kembali berguncang. Untuk ketiga kalinya secara berturut-turut, harga kontrak berjangka minyak sawit mentah (CPO) melemah, mencerminkan ketidakpastian yang masih menyelimuti sektor komoditas dunia.
Pada penutupan perdagangan terakhir, kontrak CPO untuk pengiriman Oktober 2025 turun 1,09% ke posisi MYR 4.426 per ton, setelah sempat menyentuh MYR 4.478. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif yang telah membayangi pasar dalam beberapa pekan terakhir.
Faktor utama pelemahan harga datang dari sisi permintaan. Setelah lonjakan pembelian menjelang festival Diwali di India, aktivitas impor kini melambat tajam. Analis menilai, pasar tengah memasuki fase jeda alami setelah periode pembelian besar-besaran.
“India memainkan peran penting sebagai penggerak harga CPO. Begitu impor mereka melambat, pasar global langsung terasa efeknya,” ujar seorang analis pasar komoditas di Kuala Lumpur.
Selain permintaan yang melemah, ketidakpastian geopolitik kembali menekan sentimen investor. Dunia menyoroti pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping yang masih belum menghasilkan kejelasan konkret.
Ketidakpastian hasil pembicaraan dua ekonomi terbesar dunia itu menimbulkan kekhawatiran baru akan potensi kebijakan perdagangan yang bisa mengguncang rantai pasok minyak nabati global. Investor pun memilih bersikap hati-hati. “Pasar sedang menahan napas. Semua menunggu hasil konkret dari dialog AS–Tiongkok sebelum mengambil posisi besar,” kata analis tersebut.
Sedikit kabar baik datang dari Malaysia. Data dari surveyor kargo menunjukkan pengiriman minyak sawit periode 1–20 Oktober naik 2,5%–3,4% dibanding bulan sebelumnya. Meski demikian, para analis menilai kenaikan ini belum cukup kuat untuk menahan tren pelemahan harga.
“Peningkatan ekspor memang memberi napas, tapi belum menjadi pembalik arah tren. Pasar masih menunggu sinyal pemulihan dari India dan Tiongkok,” ujar laporan riset sebuah lembaga keuangan regional.
Berbeda dengan situasi global, pasar domestik Indonesia justru menunjukkan ketahanan yang lebih kuat. Konsumsi biodiesel nasional melonjak hampir 10% secara tahunan (year-on-year) selama sembilan bulan pertama 2025, didorong oleh program energi hijau pemerintah seperti B35.
Kenaikan ini menjadi penopang harga di tingkat petani dan produsen, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap ekspor. “Permintaan domestik yang solid dari sektor biodiesel memberi efek stabilisasi di tengah fluktuasi global,” ujar Direktur Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia.
Dengan semakin agresifnya implementasi energi terbarukan, minyak sawit kini tak lagi hanya bergantung pada pasar pangan, melainkan menjadi bagian penting dalam transisi energi nasional.
Meski saat ini harga tertekan, prospek jangka menengah diperkirakan tetap positif. Dewan Minyak Sawit Malaysia (MCM) memperkirakan harga CPO akan bertahan di atas MYR 4.400 per ton hingga 2026, didukung permintaan dari sektor energi terbarukan dan potensi gangguan pasokan akibat cuaca ekstrem.
Namun, persaingan ketat dengan minyak nabati lain seperti kedelai masih menjadi faktor penentu arah harga ke depan. Karena itu, kolaborasi antara Indonesia dan Malaysia dianggap penting untuk menjaga posisi strategis minyak sawit di pasar global.
Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, pelaku industri dituntut semakin adaptif dan inovatif. Diversifikasi produk, efisiensi rantai pasok, dan ekspansi ke pasar nontradisional menjadi strategi wajib agar sektor sawit tetap tangguh menghadapi fluktuasi global.
Meski badai belum berlalu, Indonesia punya alasan untuk tetap optimistis — karena di tengah gejolak harga dunia, energi hijau dari sawit domestik masih menyala terang.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *