
sawitsetara.co – PEKANBARU – Harapan kelompok pecinta lingkungan agar jutaan hektare kebun kelapa sawit hasil penguasaan kembali negara dikembalikan menjadi kawasan hutan kian menjauh.
Alih-alih direstorasi, kebun-kebun sawit sitaan justru berpeluang berubah status menjadi Areal Peruntukan Lain (APL) melalui regulasi baru yang terbit tanpa gaung publik.
Perubahan arah itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 20 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021.
Aturan tersebut diteken Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan secara spesifik mengatur mekanisme pelepasan kawasan hutan secara parsial untuk kebun kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan hasil penguasaan kembali negara.
Dalam Pasal 326A ayat (1) disebutkan bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan untuk kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan.
Ayat berikutnya menegaskan bahwa pelepasan itu dilakukan terhadap kawasan hutan yang telah diserahkan pimpinan lembaga pemerintah pengelola BUMN kepada badan usaha milik negara.
Bagi Wakil Ketua Umum DPP Sawitku Masa Depanku (SAMADE), Abdul Aziz, kebijakan ini justru memutar balik dalih awal negara saat menyita kebun sawit yang dituding berada di kawasan hutan.
Awalnya, lahan tersebut diambil paksa dengan alasan untuk mengembalikan kawasan hutan, namun setelah disita, ternyata tak sesuai niat awal.
“Ini benar-benar sebuah kezaliman yang sangat luar biasa. Di satu sisi, dalil yang muncul diawal, kebun-kebun kelapa sawit yang disangkakan berada di kawasan hutan itu, diambil alih untuk dikembalikan fungsinya sebagai kawasan hutan. Namun kenyataannya, justru di rubah menjadi Areal Peruntukan Lain (APL),” kata Aziz di Pekanbaru, Minggu (28/12/2025).
Menurut Aziz, legitimasi publik terhadap penyitaan kebun sawit selama ini lahir dari narasi penyelamatan hutan. Namun regulasi baru tersebut, kata dia, justru membuka fakta berbeda. “Tapi kalau sudah begini ceritanya, lagi-lagi pembohongan publik yang terjadi,” ujarnya.
Aziz mengakui, Permenhut 20/2025 memang membatasi pelepasan hanya pada kawasan berstatus Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Hutan Produksi Tetap (HP). Namun skala lahan yang telah disita negara dinilainya tetap mengkhawatirkan.
“Kalau kebun sawit yang dirampas sudah mencapai 4,08 juta hektar, anggaplah separuhnya adalah HPK dan HP. Ini kan sudah 2 juta hektar kawasan hutan yang dilepaskan,” katanya.
Yang lebih problematik, lanjut Aziz, pelepasan kawasan itu ditujukan untuk kepentingan korporasi negara. Menurutnya, meskipun itu perusahaan milik negara, tetap saja untuk tujuan bisnis.
“Apakah bisnis lebih penting ketimbang penyelamatan lingkungan?” katanya mempertanyakan.
Keanehan lain yang disoroti SAMADE adalah pengelolaan kebun sawit sitaan yang diserahkan kepada perusahaan BUMN yang baru berdiri hitungan bulan.
“Apakah ini akan benar-benar berjalan? Sementara di lapangan, perusahaan ini tidak mengelola sendiri kebun hasil sitaan itu, tapi di-KSO-kan kepada pihak lain. Perusahaan Cuma terima bersih. Oleh KSO ini, banyak masalah yang muncul dan bahkan terjadi pertumpahan darah,” ujar Aziz.
Ia pun mempertanyakan logika kebijakan negara yang mengabaikan pelaku usaha lama. Menurutnya, kalau memang pada akhirnya lahan-lahan itu dilepaskan dari kawasan hutan, kenapa tidak pelaku usaha lama saja yang tetap mengelola. Sementara mereka sudah lama memohon pelepasan tapi tidak digubris.
Rakyat Tetap Jadi Penonton
Aziz menilai, kebijakan kehutanan saat ini semakin menjauh dari kepentingan rakyat. Menurutnya, tidak satu hektare pun kebun sitaan dialokasikan untuk masyarakat setempat. Banyak lahan masyarakat adat menjadi kebun sawit perusahaan lama. Salah satunya di Riau. Mereka kini hanya jadi penonton.
“Tapi begitu negara menyita kebun kelapa sawit itu, tak ada yang dikembalikan kepada masyarakat, yang ada malah diserahkan kepada perusahaan baru (plat merah),” katanya.
Ia bahkan menghitung potensi kesejahteraan yang hilang. Ia mengatakan jika memang tujuan bernegara ini adalah demi kepentingan masyarakat, bagikan saja lahan sitaan itu kepada masyarakat. Kalau 4 juta hektar yang sudah disita, sudah 2 juta kepala keluarga yang hidupnya akan membaik bila mereka kebagian 2 hektar per KK.
“Tapi ini nampaknya enggak,” ujar Aziz.
Selain itu, Aziz menyoroti nasib petani kecil dan eks transmigran yang lahannya diklaim masuk kawasan hutan dan tak kunjung mendapat pelepasan. Yang lebih miris lagi adalah lahan-lahan eks transmigrasi yang jelas-jelas program pemerintah dan lahan itu kemudian diklaim di kawasan hutan,.
“Lalu mereka memohon agar dilepas dari kawasan hutan untuk ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), permohonan itu mentok begitu saja. Kalaupun ada yang direspon, paling diarahkan ikut perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan. Ini kan sama saja hutan juga,” lanjutnya.
“Kenapa kalau untuk perusahaan Menhut dengan gampangnya merubah peraturan,” Aziz kembali bertanya.
Aziz juga mengkritik dasar klaim kawasan hutan yang menurutnya sepihak. Ia menilai, kehutanan hanya berbekal peta tanpa menunjukkan bukti proses pengukuhan kawasan hutan secara utuh.
“Sebagai bukti kalau kawasan hutan itu ditata batas, tentunya ada Berita Acara Tata Batas (BATB) yang diteken oleh semua pihak yang berbatas,” terangnya.
Menurutnya, jika proses pengukuhan dilakukan sesuai aturan—mulai dari penunjukan hingga penetapan—maka tidak akan ada hak pihak lain yang terjebak di dalam kawasan hutan.
Situasi kian berat ketika klaim sepihak itu dibarengi sanksi administratif yang nilainya dinilai tak rasional. Mengacu pada PP Nomor 45 Tahun 2025, denda dikenakan sebesar Rp25 juta per hektare per tahun produksi.
“Kalau lama produksi kebun itu 10 tahun, maka Rp25 juta x 10 = Rp250 juta. Ini denda untuk 1 hektar. Kalau 100 hektar, sudah Rp25 miliar. Sudahlah harus bayar denda, lahan disita pula,” kata Aziz.
Ia juga menilai posisi hukum menjadi timpang sejak pembentukan Satgas PKH. Setelah ada Satgas PKH, pelaku usaha sawit tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Dan kalaupun membela diri, mau melapor ke mana, semua Aparat Penegak Hukum (APH) ada di Satgas PKH. Seharusnya penegak hukum itu ada di posisi netral. Sementara itu, pengelolaan kebun sitaan oleh BUMN dinilai minim transparansi.
“Sampai sekarang kita belum pernah mendengar berapa hasil kebun sawit sitaan itu dan duitnya ada dimana,” ujarnya. “Kalau Rp2 juta saja hasil satu hektar kebun sawit itu sebulan, sudah Rp18 triliun hasil dari 1,5 juta hektar kebun sitaan selama 6 bulan,” kata Aziz.
Di akhir pernyataannya, Aziz mendesak pembatalan Permenhut 20/2025 serta pembentukan tim independen untuk meninjau ulang klaim kawasan hutan. “Kalau memang kawasan hutan, kembalikan saja menjadi hutan,” tegasnya.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *