KONSULTASI
Logo

Mendorong Petani Naik Kelas

24 November 2025
AuthorIbnu
EditorEditor
Mendorong Petani Naik Kelas
HOT NEWS

sawitsetara.co - JAKARTA – Indonesia sejak masa kolonial telah dikenal sebagai negeri perkebunan. Dari ujung Sumatera hingga Sulawesi, bentangan kebun sawit, kopi, kakao, kelapa, dan karet menjadi lanskap yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Di jalan-jalan pedesaan, truk-truk kecil mengangkut tandan buah segar dari kebun sawit, sementara di pelabuhan, kontainer berisi hasil perkebunan siap dikirim ke luar negeri. Semua aktivitas itu membentuk denyut ekonomi rakyat yang tak pernah benar-benar berhenti, menghidupi lebih dari 10 juta keluarga yang bergantung pada sektor perkebunan. Perkebunan bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi jantung kehidupan sosial dan budaya di banyak wilayah pedesaan Indonesia.

Namun, di balik geliat ekonomi itu petani masih berdiri di titik paling lemah dalam rantai nilai. Mereka bekerja keras di bawah terik matahari, tetapi hasil jerih payahnya kerap tergerus oleh struktur pasar yang timpang.

“Saat harga komoditas global naik, petani tidak selalu ikut menikmati keuntungannya. Namun ketika harga turun, merekalah yang paling pertama menanggung beban,” ungkap Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian, kepada sawitsetara.co, Senin (24/11/2025).


Sawit Setara Default Ad Banner

Di desa-desa penghasil komoditas perkebunan menjual hasil perkebunan tapi masih sedikit petani yang menjual produk turunan, baik petani sawit, kakao, karet ataupun lainnya. Nilai tambah berhenti di pabrik dan pelabuhan, bukan di kebun tempat segala proses bermula. Ironi inilah yang membuat banyak anak muda enggan melanjutkan usaha perkebunan orang tuanya, karena sektor ini seolah berhenti pada kerja keras, tapi jarang berbuah kesejahteraan.

Petani di Ujung Rantai Nilai

Kegiatan hilirisasi di sektor perkebunan menawarkan jalan keluar dari ketimpangan lama itu. Ketika hasil panen diolah di dekat sumbernya, petani tak lagi sekadar penyuplai bahan mentah, melainkan bagian dari rantai produksi bernilai tinggi.

Transformasi semacam ini mengubah wajah desa dan memberi harapan baru. Petani mulai “naik kelas”, dari pemasok bahan mentah menjadi pelaku industri. Mereka tidak lagi menunggu tengkulak datang, tetapi ikut menentukan harga dan kualitas produk. Keuntungan dari penjualan olahan kembali ke desa, memperkuat koperasi, dan memperluas kesejahteraan.

Lebih dari itu, hilirisasi menjadi magnet bagi regenerasi. Generasi muda kini memandang sektor perkebunan bukan lagi pekerjaan kasar, tetapi ruang kreatif yang modern. Di banyak tempat, anak muda desa tampil sebagai wirausahawan kopi spesialti, teknolog pengolahan, hingga desainer kemasan digital yang memasarkan produk lokal lewat e-commerce.

“Namun, perubahan besar ini tentu tidak tumbuh begitu saja. Ia membutuhkan fondasi kuat, jaminan bahan baku, teknologi pascapanen, akses permodalan, dan pasar yang terbuka. Mesin pengering, alat pengemas vakum, hingga fasilitas cold storage masih menjadi barang langka di banyak sentra perkebunan. Padahal, di sanalah kualitas dan daya saing produk ditentukan. Karena itu, pemerintah akan mempercepat dukungan melalui skema kolaborasi dengan BUMN Perkebunan dan perbankan melalui skema KUR,” papar Kuntoro.


Sawit Setara Default Ad Banner

Menopang Ketahanan dan Kemandirian Ekonomi Nasional

“Lebih dari sekadar meningkatkan pendapatan petani, hilirisasi perkebunan juga berperan strategis dalam memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Saat dunia menghadapi gejolak harga pangan dan energi, negara dengan industri pengolahan kuat akan lebih tahan terhadap guncangan global. Produk turunan perkebunan yang bernilai tinggi, mulai dari minyak sawit, olahan kelapa, hingga karet vulkanisir, menjadi penyelamat devisa dan penyangga stabilitas perdagangan. Nilai ekspor sawit Indonesia, misalnya, mencapai lebih dari USD20 miliar/ tahun, sebagian besar dari produk olahan, bukan CPO mentah. Begitu pula dengan kopi dan kakao yang telah masuk pasar premium berkat pengolahan modern di tingkat lokal,” ungkap Kuntoro.

Hilirisasi juga dapat mengurangi ketergantungan impor produk turunan yang sebetulnya bisa dibuat di dalam negeri. Indonesia masih mengimpor lateks olahan, gula rafinasi, dan berbagai bahan kosmetik berbasis oleokimia, padahal bahan mentahnya melimpah di kebun rakyat. Dengan memperkuat rantai nilai dari hulu ke hilir, setiap komoditas perkebunan bisa memberi nilai ekonomi berlipat.

Tentu, peluang dan tantangan di lapangan masih besar. Infrastruktur produksi dan distribusi di wilayah perkebunan masih terbatas, jalan ke kebun rusak, listrik tidak stabil, dan logistik mahal.

“Belum lagi regulasi yang sering tumpang tindih dan perizinan usaha kecil yang rumit. Namun, justru di sinilah peran negara dibutuhkan, untuk menghadirkan kebijakan yang berpihak dan insentif yang nyata. Insentif pajak bagi pabrik olahan di desa, penyederhanaan izin usaha kecil, hingga kredit lunak untuk pengolahan hasil perkebunan adalah langkah konkret yang bisa mempercepat hilirisasi,” ungkap Kuntoro.


Sawit Setara Default Ad Banner

Sinergi lintas sektor

Sinergi lintas sektor menjadi kunci. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menyiapkan peta jalan hilirisasi perkebunan yang berkelanjutan, bukan sekadar proyek jangka pendek. BUMN perkebunan (PTPN Holding) dan swasta besar akan dilibatkan menjadi mitra pembeli (off taker) atau investor dalam model kemitraan adil dengan petani. Pendampingan dari mahasiswa, akademisi dan lembaga riset juga dilaksanakan untuk membantu meningkatkan kualitas produk dan efisiensi teknologi.

Bayangkan jika satu dekade ke depan di setiap sentra perkebunan berdiri pabrik kecil ramah lingkungan, dikelola koperasi dan tenaga muda lokal. Di Kalimantan, pabrik biosolar dari sawit menggantikan impor energi fosil. Kelapa sawit rakyat diolah menjadi produk pangan, kosmetik dan farmasi alami. Desa-desa pun menjadi simpul ekonomi hijau yang tidak hanya menumbuhkan pendapatan, tetapi juga menjaga kelestarian alam.

“Jika hilirisasi dijalankan secara inklusif dan berkelanjutan, Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai produsen bahan mentah, tapi sebagai kekuatan agroindustri dunia. Dari kebun sawit hingga kopi, dari kelapa hingga kakao, menjadi simbol kebangkitan ekonomi nasional,” pungkas Kuntoro.



Berita Sebelumnya
Majalah Sawit Indonesia Bersama Jurnalis Belajar Mengolah Jelantah Jadi Sabun dan Lilin Aromaterapi

Majalah Sawit Indonesia Bersama Jurnalis Belajar Mengolah Jelantah Jadi Sabun dan Lilin Aromaterapi

Owner UMKM Berkah Kita, Apriani Ika Kurniawati menuturkan bahwa usahanya mampu menghasilkan lilin aromatik, sabun cair, dan sabun mandi batangan berbahan dasar minyak goreng jelantah.

23 November 2025 | Edukasi

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *