
sawitsetara.co – JAKARTA – Isu bencana alam seperti banjir bandang dan longsor kembali menguat dalam beberapa pekan terakhir, seiring terjadinya sejumlah peristiwa di berbagai daerah. Di tengah situasi tersebut, sektor perkebunan kelapa sawit kembali menjadi sasaran sorotan publik dan kerap dituding sebagai penyebab utama terjadinya bencana hidrometeorologi.
Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Prof. Bungaran Saragih, menilai kecenderungan menyalahkan sawit secara langsung justru berpotensi menyesatkan arah diskusi publik. Menurutnya, persoalan bencana alam tidak bisa dipandang secara sempit hanya dari satu komoditas.
“Saya ingin menegaskan sejak awal, persoalan ini tidak sesederhana itu,” ujar Prof. Bungaran Saragih dalam keterangannya, Senin (22/12/2025).
Ia menekankan bahwa banjir bandang dan longsor menyangkut banyak aspek yang saling berkaitan, mulai dari keselamatan manusia, keberlanjutan ekonomi, hingga kelestarian ekosistem. Penyederhanaan masalah dengan narasi “sawit atau bukan sawit” dinilai justru berisiko menutup akar persoalan yang sesungguhnya.
“Ketika kita menyederhanakan persoalan banjir hanya menjadi ‘sawit atau bukan sawit’, kita justru berisiko kehilangan akar masalah yang sesungguhnya,” tegasnya.
Prof. Bungaran juga mengakui bahwa frekuensi bencana banjir bandang dan longsor dalam beberapa tahun terakhir memang menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dampaknya tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi, tetapi juga memicu kegelisahan sosial serta tekanan terhadap dunia usaha, termasuk industri kelapa sawit.
Padahal, di sisi lain, sektor sawit telah lama menjadi tulang punggung perekonomian nasional, menyerap jutaan tenaga kerja, menggerakkan ekonomi pedesaan, serta menopang devisa negara melalui ekspor.
Dalam pandangannya, tantangan utama bukanlah mempertentangkan keberadaan sawit dengan isu lingkungan, melainkan memastikan tata kelola yang benar dan berkelanjutan. Ia menyebut setidaknya terdapat tiga titik krusial yang perlu dibahas secara terbuka dan berbasis ilmu pengetahuan, yakni ketersediaan data yang kuat, tata kelola lahan dan perubahan penggunaan lahan, serta solusi keberlanjutan melalui kemitraan multipihak.
Terkait data, Prof. Bungaran menilai perdebatan mengenai hubungan sawit dan banjir sering kali diwarnai asumsi tanpa dukungan informasi yang memadai. Oleh karena itu, ia mendorong penggunaan data spasial dan hidrologis yang kredibel, analisis ilmiah independen, serta pemetaan risiko yang transparan agar pengambilan kebijakan tidak didasarkan pada emosi semata.
Pada aspek tata kelola lahan, ia menegaskan bahwa risiko banjir lebih ditentukan oleh cara pengelolaan tutupan lahan, termasuk perlindungan kawasan lindung, sempadan sungai, serta daerah resapan air dan hulu daerah aliran sungai. Sinkronisasi antara perizinan, penegakan hukum, dan penerapan standar keberlanjutan menjadi faktor kunci dalam meminimalkan risiko bencana.
Sementara itu, dari sisi solusi, Prof. Bungaran menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, masyarakat sipil, dan media. Pemerintah diharapkan hadir melalui penataan ruang yang tegas dan pengawasan yang konsisten, sementara pelaku usaha wajib menerapkan praktik budi daya yang bertanggung jawab.
“Saya percaya, industri kelapa sawit tidak seharusnya ditempatkan sebagai kambing hitam bencana,” katanya.
Ia menegaskan bahwa dengan tata kelola yang transparan, berbasis data, dan berorientasi jangka panjang, industri kelapa sawit justru dapat menjadi bagian dari solusi, baik dalam pengelolaan risiko bencana maupun dalam pembangunan ekonomi nasional.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *