
sawitsetara.co - JAKARTA - Sekretaris Jenderal Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Izzana Salleh menegaskan bahwa perdebatan global mengenai minyak sawit kerap terjebak pada isu perdagangan semata, padahal peran komoditas ini jauh lebih fundamental.
Menurutnya, sawit memiliki posisi kunci dalam menjaga ketahanan pangan dunia dan memastikan ketersediaan bahan pangan dengan harga yang masih terjangkau bagi masyarakat lintas negara.
Ia menekankan bahwa keunggulan minyak sawit terletak pada tingkat produktivitasnya yang sulit ditandingi oleh minyak nabati lain.
Dengan kontribusi sekitar 42 persen terhadap pasokan minyak nabati global, sawit hanya membutuhkan kurang dari 10 persen total lahan tanaman penghasil minyak.
Rasio ini, menurut Izzana, menunjukkan bahwa sawit bukan hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga strategis dalam konteks penggunaan lahan secara global.
“Minyak sawit memiliki peran yang tidak tergantikan dalam ketahanan pangan, transisi energi, kesejahteraan pedesaan, dan pengembangan bioekonomi dunia,” ujar Izzana, dikutip InfoSawit dari laman CPOPC, Minggu (21/12/2025).
Meski demikian, ia tidak menutup mata terhadap tekanan yang dihadapi industri kelapa sawit saat ini. Berbagai tantangan muncul secara bersamaan, mulai dari narasi negatif yang terus berulang, dinamika harga yang berfluktuasi tajam, hingga arah kebijakan global yang dinilai semakin tidak pasti bagi negara-negara produsen.
Tekanan tersebut semakin kuat seiring munculnya beragam regulasi baru di pasar internasional, salah satunya European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Izzana menilai, kebijakan semacam ini perlu dicermati secara hati-hati karena berpotensi memengaruhi stabilitas pasokan minyak nabati dunia jika diterapkan tanpa pendekatan yang seimbang.
Dalam konteks itu, CPOPC mendorong diterapkannya kerangka regulasi dan mekanisme akses pasar yang berbasis aturan bersama, tidak diskriminatif, serta berlaku setara bagi seluruh minyak nabati.
Menurutnya, kebijakan yang adil harus dirancang secara transparan dan proporsional agar tidak menciptakan hambatan perdagangan yang justru merugikan banyak pihak.
“Penerapan beban kepatuhan yang lebih tinggi atau pembatasan perdagangan yang secara khusus menargetkan minyak sawit berisiko mengganggu pasokan global, merugikan mata pencaharian produsen, dan pada akhirnya melemahkan keterjangkauan pangan dunia,” kata dia.
Memasuki dekade kedua keberadaan CPOPC, organisasi negara-negara produsen sawit ini menegaskan komitmennya untuk memperdalam kerja sama lintas negara.
Fokus kerja sama tersebut diarahkan pada penguatan kebijakan berbasis sains serta perlindungan terhadap kepentingan negara produsen dan petani kecil di tengah perubahan lanskap global.
Izzana juga menyampaikan keyakinannya bahwa masa depan industri kelapa sawit tidak dapat dibangun melalui pendekatan konfrontatif. Ia menilai, tantangan global hanya bisa dijawab melalui kemitraan yang melibatkan negara produsen dan konsumen, sektor publik dan swasta, serta seluruh mata rantai industri.
Menurutnya, kolaborasi tersebut perlu diwujudkan secara konkret melalui pemanfaatan teknologi digital, penguatan sistem sertifikasi nasional, serta penerapan kerangka keberlanjutan yang inklusif dan dapat diterapkan di berbagai konteks negara.
“Kami percaya bahwa lanskap minyak nabati global yang adil, stabil, dan memberikan manfaat bagi semua pihak dapat dibangun bersama,” kata Izzana.
CPOPC pun menegaskan kesiapannya untuk terus berkolaborasi dengan seluruh mitra strategis dalam membentuk masa depan minyak sawit yang berkelanjutan, transparan, dan tangguh—masa depan yang tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menopang kesejahteraan masyarakat dan memperkuat kemakmuran bersama.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *