KONSULTASI
Logo

Tekanan Global terhadap Sawit Dinilai Kontraproduktif, Dunia Justru Terancam Deforestasi Lebih Luas

24 Desember 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Tekanan Global terhadap Sawit Dinilai Kontraproduktif, Dunia Justru Terancam Deforestasi Lebih Luas
HOT NEWS

sawitsetara.co – JAKARTA – Permintaan minyak nabati global diproyeksikan terus melonjak hingga 2050 seiring pertumbuhan penduduk dunia dan peningkatan daya beli masyarakat, terutama di negara berkembang seperti India dan Tiongkok.

Dalam lanskap kebutuhan pangan, industri, dan energi terbarukan, minyak nabati—termasuk sawit, kedelai, rapeseed, dan bunga matahari—menjadi komoditas strategis yang tidak tergantikan.

Dilansir dari laman Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), namun di tengah kebutuhan yang terus meningkat tersebut, kelapa sawit justru menjadi sasaran pembatasan dan kampanye negatif di tingkat global.

natal dpp

Sejumlah kalangan menilai pendekatan ini keliru karena mengabaikan fakta fundamental: menekan sawit tidak akan menurunkan konsumsi minyak nabati dunia, melainkan memindahkan beban lingkungan ke wilayah dan komoditas lain yang jauh lebih boros lahan.

Berbagai proyeksi internasional menunjukkan bahwa minyak nabati tidak dapat dieliminasi, bahkan dalam skenario konsumsi yang lebih sehat dan berkelanjutan. Konsumsi di negara maju relatif stagnan, tetapi di negara berkembang terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi.

Artinya, tantangan global bukan pada pilihan “menggunakan atau tidak menggunakan” minyak nabati, melainkan pada bagaimana memproduksinya secara paling efisien dan rasional dari sisi penggunaan lahan.

Dalam konteks ini, kelapa sawit menempati posisi unik. Secara agronomis, sawit merupakan tanaman penghasil minyak paling produktif di dunia.

Rata-rata produktivitas minyak sawit mencapai 3–4 ton per hektare per tahun, jauh melampaui kedelai yang hanya menghasilkan sekitar 0,4–0,5 ton per hektare. Rapeseed dan bunga matahari bahkan berada di bawah 1 ton per hektare per tahun.

Dengan tingkat produktivitas tersebut, sawit mampu menghasilkan lebih dari tujuh kali lipat minyak dibandingkan kedelai pada luasan lahan yang sama.

Keunggulan produktivitas ini berdampak langsung pada efisiensi penggunaan lahan global. Sawit memungkinkan pemenuhan kebutuhan minyak nabati dunia dengan jejak lahan paling kecil dibandingkan komoditas minyak nabati lainnya. Dari perspektif tata guna lahan, sawit justru berkontribusi pada pengendalian ekspansi pertanian skala besar.

natal dpp

Isu lingkungan yang kerap dilekatkan pada sawit juga dinilai perlu diluruskan secara berbasis hukum. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit secara regulasi hanya dapat dibangun di luar kawasan hutan.

Seluruh kebun sawit legal berdiri di atas lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) melalui proses perizinan yang ketat, panjang, dan berlapis. Pemerintah secara tegas melarang kegiatan perkebunan di kawasan hutan, sehingga tidak terdapat mekanisme legal bagi sawit untuk membuka hutan.

Apabila terjadi pembukaan hutan secara ilegal, hal tersebut merupakan pelanggaran hukum yang harus ditindak, bukan karakter inheren dari industri sawit. Penyamaan antara praktik ilegal dan keseluruhan sektor sawit dinilai sebagai simplifikasi yang menyesatkan.

Sebaliknya, hambatan terhadap sawit berpotensi memicu persoalan lingkungan yang lebih besar di tingkat global. Ketika sawit ditekan, kebutuhan minyak nabati dunia akan beralih ke komoditas lain seperti kedelai, rapeseed, atau bunga matahari. Padahal, untuk menghasilkan volume minyak yang setara dengan sawit, minyak kedelai membutuhkan hingga sepuluh kali lipat luasan lahan.

Sejumlah studi memperkirakan bahwa penggantian sawit dengan minyak nabati lain dapat meningkatkan kebutuhan lahan global hingga ratusan juta hektare, terutama di kawasan Amerika Selatan, Afrika, dan wilayah tropis lainnya. Tekanan ini hampir pasti akan berujung pada deforestasi baru dalam skala yang jauh lebih luas.

Dengan produktivitas tinggi dan pengelolaan di lahan legal non-hutan, sawit justru berfungsi sebagai penyangga hutan global. Keberadaan sawit membantu menekan ekspansi pertanian lintas benua, mengurangi dorongan pembukaan hutan baru, serta menjaga keseimbangan lingkungan secara global.

Para pengamat menilai, penolakan terhadap sawit tanpa alternatif realistis justru berisiko mempercepat kerusakan hutan dunia. Kebutuhan minyak nabati akan tetap ada, produksi akan bergeser ke tanaman yang boros lahan, dan deforestasi global berpotensi meningkat signifikan.

Dalam konteks tersebut, sawit dinilai bukan sebagai musuh lingkungan, melainkan bagian dari solusi global—selama dikelola secara legal, berkelanjutan, dan berbasis tata kelola yang kuat.


Berita Sebelumnya
Harga TBS Plasma Riau Periode Akhir Desember 2025–Januari 2026 Naik Tipis

Harga TBS Plasma Riau Periode Akhir Desember 2025–Januari 2026 Naik Tipis

Hasilnya, harga TBS mengalami kenaikan tipis, dengan harga tertinggi terjadi pada kelompok umur tanaman 9 tahun.

23 Desember 2025 | Harga TBS

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *