KONSULTASI
Logo

Pakar Hukum Kehutanan Mengenai PP 45/2025: Ancaman Serius bagi Keberlanjutan Industri Sawit

10 Oktober 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Pakar Hukum Kehutanan Mengenai PP 45/2025: Ancaman Serius bagi Keberlanjutan Industri Sawit
HOT NEWS

sawitetara.co - JAKARTA - Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025, yang langsung memicu kegelisahan pelaku industri sawit nasional. Aturan ini menggantikan PP 24/2021 dan memperkenalkan sanksi administratif yang dinilai sangat memberatkan, termasuk denda fantastis sebesar Rp 25 juta per hektare per tahun bagi perkebunan sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan.

Jika pelanggaran berlangsung selama 20 tahun, dendanya bisa menembus Rp 375 juta per hektare, jauh di atas nilai pasar lahan sawit yang hanya Rp 50–100 juta per hektare. Tak heran, para pelaku industri dari petani kecil hingga perusahaan besar menyebut kebijakan ini sebagai “pukulan mematikan”.

Pakar Hukum Kehutanan, Sadino, menyebut PP ini sebagai “ancaman serius bagi keberlanjutan industri sawit”. Ia menilai kebijakan ini disusun tanpa uji publik yang memadai dan mengabaikan suara petani, yang justru mengelola 42% dari total lahan sawit nasional.

“Paradigma kebijakannya bergeser dari pembinaan menjadi pembinasaan. Ini bukan sekadar aturan, tapi palu godam,” tegas Sadino.

Menurutnya, pendekatan yang menghukum tanpa membedakan tingkat pelanggaran justru bertentangan dengan semangat UU Cipta Kerja, yang menekankan pembinaan dan perbaikan tata kelola.

Sadino juga mempertanyakan dasar logika di balik denda absolut yang tidak mempertimbangkan tingkat kesalahan atau keuntungan. Ia menyarankan agar pendekatan denda berbasis persentase keuntungan dipertimbangkan sebagai solusi yang lebih adil dan rasional.

Lomba Cipta Mars  HUT Apkasindo

Tak hanya itu, PP 45/2025 juga dinilai mengancam kepastian hukum dan iklim investasi. Sadino memperingatkan bahwa ketentuan yang berlaku surut bisa menggerus kepercayaan investor asing.

“Jika pemenuhan hukum masa lalu tidak lagi dihormati, siapa yang mau berinvestasi di sini?” tanyanya.

Ia juga mengingatkan bahwa banyak penguasaan lahan sawit di kawasan hutan bermula dari kebijakan otonomi daerah pasca-UU 22/1999, saat bupati punya kewenangan menerbitkan izin, sementara pusat belum punya sistem satu peta.

Sadino menilai pengenaan denda atas seluruh luas izin tanpa memilah jenis pelanggaran aktif sebagai tindakan melawan hukum. Termasuk areal konservasi, sempadan sungai, dan cadangan lahan masyarakat, yang semestinya tak dihitung sebagai pelanggaran.

Lebih lanjut, Sadino mengkritik cara pandang pemerintah yang menyamakan sawit dengan tambang. Menurutnya, sawit bukan soal eksploitasi alam, tapi agribisnis yang bergantung pada tata kelola pertanian dan perawatan berkelanjutan.

“Jika pendekatan ini diteruskan, perusahaan kecil bisa bangkrut, kredit bank macet, PHK massal terjadi. Negara ikut rugi,” ujar Sadino.

Ia juga mengkritik pengambilalihan lahan oleh BUMN, menyebut pengalaman BUMN dalam mengelola sawit masih sangat terbatas, bahkan justru bisa menjadi beban negara.

Sadino menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto meninjau ulang PP 45/2025. Ia menekankan bahwa sawit adalah tulang punggung ekonomi nasional, menyerap lebih dari 18 juta tenaga kerja, sekaligus menopang ketahanan pangan dan energi, termasuk program strategis B50.

“Kita butuh kebijakan berbasis data, bukan pendekatan ‘hajar rata’. Jika salah langkah, ini bisa memperburuk ekonomi nasional,” pungkasnya.

Tags:

Peraturan Pemerintah no 45

Berita Sebelumnya
Pertamina NRE dan SLNG Bersinergi Ubah Limbah Sawit Jadi Energi Hijau Bernilai Ekonomi

Pertamina NRE dan SLNG Bersinergi Ubah Limbah Sawit Jadi Energi Hijau Bernilai Ekonomi

Kolaborasi ini bertujuan untuk mengembangkan Bio-LNG, yang bahan bakunya berasal dari limbah cair kelapa sawit (POME).

9 Oktober 2025 | Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *