sawitsetara.co - Di tengah gencarnya pemerintah menggaungkan keberhasilan “merebut kembali” jutaan hektare lahan sawit dari kawasan hutan, sebuah laporan terbaru dari Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM) justru mengungkap fakta yang sangat kontras, banyak dari lahan tersebut ternyata hanyalah tanah kosong, semak belukar, rawa, bahkan kawasan konservasi.
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mengklaim telah menguasai kembali 3,4 juta hektare kawasan hutan, dengan 1,5 juta hektare di antaranya diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara. Jaksa Agung menyebutkan angka Rp150 triliun. Namun, kajian PUSTAKA ALAM menyebut klaim besar itu bisa menyesatkan Presiden.
“Negara seolah-olah berhasil merebut kembali aset raksasa, padahal sebagian besar hanya lahan kosong, bukan kebun sawit aktif,” kata Muhamad Zainal Arifin, Direktur PUSTAKA ALAM.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada 23 September 2025, PT Agrinas Palma Nusantara mengonfirmasi bahwa dari total 833.413 hektare lahan yang mereka terima dalam Tahap I-III, hanya 61% yang tertanam sawit. Artinya, sekitar 325 ribu hektare lainnya kosong.
Temuan makin parah ketika menelusuri Penyerahan Tahap IV. Dari 674.178 hektare, sebagian besar kembali didominasi lahan non-produktif.
Contoh paling mencolok penguasaan kembali di Provinsi Kalimantan Tengah adalah PT AKL, yang dari total lahan penguasaan kembali seluas 8.696,09 hektar, secara mengejutkan hanya 2,33 hektar yang tertanam. Kondisi serupa terjadi PT KHS dilakukan penguasaan kembali 1.357, 91 ha dengan luas yang tertanam hanya 15 ha. Kemudian, ada PT ISA lahan yang dikuasai kembali 1.156,26 ha, akan tetapi yang tertanam 8,89 ha. Begitu juga di Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat PT KSG dengan dilakukan penguasaan kembali 1.452,41 ha akan tetapi tertanam hanya 8,38 ha dan masih banyak perusahaan yang mengalami hal yang sama.
“Jika data seperti ini dilaporkan ke Presiden tanpa diverifikasi, maka Presiden jelas disesatkan oleh angka-angka semu,” tegas Zainal.
Menurut PUSTAKA ALAM, perbedaan angka ini membuka dua kemungkinan. Pertama, sebagian lahan yang diklaim Satgas PKH bukanlah kebun sawit aktif. Padahal Penjelasan Pasal 110B ayat (1) UU Cipta Kerja menegaskan bahwa luas pelanggaran hanya mencakup lahan yang benar-benar diubah
fungsinya. Artinya, lahan kosong tidak bisa dijadikan dasar penguasaan kembali. Fokus pemberian sanksi administratif hanya untuk kegiatan usaha yang telah terbangun.
Kedua, terdapat indikasi pembesaran data oleh Satgas PKH dalam memenuhi target kinerja. Lahan milik pihak lain atau lahan kosong dilakukan penguasaan kembali. Dalam beberapa berita acara penguasaan kembali, ditemukan pula perusahaan diminta menyerahkan lahan yang bukan miliknya.
“Negara seharusnya jadi teladan dalam penegakan hukum, bukan justru membenarkan penyerahan lahan yang tak sah hanya demi statistik,” ujar Zainal.
Tak berhenti di sana, PUSTAKA ALAM juga menemukan bahwa sejumlah lahan yang diklaim telah "dikuasai kembali" berstatus Hak Guna Usaha (HGU) aktif, yang masih berlaku secara hukum dan telah disahkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Ini bisa berbahaya secara hukum internasional. Kita pernah punya preseden kasus Bremen Tobacco 1959, di mana Indonesia digugat karena pengambilalihan sepihak tanpa kompensasi,” kata Zainal.
Ketidakakuratan data juga berdampak pada besarnya denda administratif. Ada kasus di mana perusahaan hanya terbukti melanggar di atas lahan 2,33 hektare, namun dikenai denda untuk 8.696 hektare. Ironisnya, jika kementerian justru menggunakan data faktual yang lebih kecil dari klaim Satgas PKH, mereka bisa dianggap “mengurangi penerimaan negara”—bahkan dicurigai korupsi.
“Kita sampai pada titik absurd. Kebenaran data hanya versi Satgas. Versi lain bisa dianggap salah atau bahkan kriminal,” ucap Zainal.
PUSTAKA ALAM menegaskan bahwa data yang keliru akan berdampak jauh ke depan. Mulai dari target produksi sawit, program B50, perhitungan aset negara dan BUMN, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Negara jangan terbuai oleh angka-angka besar yang tidak berdasar. Jika keputusan nasional dibuat berdasarkan data semu, maka kegagalan kebijakan tinggal menunggu waktu,” tutup Zainal.
Laporan PUSTAKA ALAM membuka tabir di balik klaim penguasaan kembali jutaan hektare lahan sawit, tersembunyi persoalan data, hukum, dan etika tata kelola. Negara dituntut tidak hanya mengejar angka, tetapi memastikan setiap klaim berdasar pada kenyataan dan keadilan.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *